SENGKETA TANAH ANTARA TNI DENGAN WARGA DI DESA
SUGIHWARAS, NGANCAR, KEDIRI, JAWA TIMUR
Studi
Kasus
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
”Hukum
Pertanahan”
Oleh:
Ahmad Khoirul
Huda : C51210120
Dosen
Pembimbing:
Muwahhid, SH. M.Hum.
JURUSAN AHWAL
AL-SYAKHSHIYAH
FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
2012
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang
Indonesia merupakan Negara agraris yang
mayoritas dari penduduknya adalah sebagai petani.Hal ini menunjukakan bahwa
sumber ekonomi dan sosial masyarakat tergantung pada alam, pada tata produksi,
dan hasil pertanian.Artinya bahwa mata
pencaharian sebagian dari mereka adalah berupa percocok tanam dan berkebun.
Tidak menutup kemungkinan mereka akan sulit dalam memenuhi hidup jika tempat
atau lahan pencarian mereka diusik dengan adanya pengusuran, apalagi tanpa
adanya ganti rugi.
Pada
kenyataanya tidak sedikit dari penguasa tindak memberikan porsi adil terhadap
masyarakat.Sehingga terjadilah perselisihan yang besar yang dapat memakan
korban.Salah satu dari sekian banyak faktor yang mempengaruhi adanya
perselisihan sengketa tanah baik perseorangan ataupun kelompok adalah tidak
adanya tanda bukti yang kuat terhadap status tanah jika terdapat sengketa
tanah.
Padahal
secara hukum, sertifikat tanah merupakan sesuatu bukti kongrit kepemilikan
tanah.Seperti dalam kasus yang diangkat diatas merupakan salah satu dari
beberapa sengketa tanah yang tidak diketahui siapa pemilik pasti dari tanah
tersebut.Karena dari kedua belah pihak tidak mempunyai tanda bukti yang pasti
atas kepemilikan tanah.Ini menunjukan betapa pentinya membuat sertifikat tanah
terhadap tanah yang memang sudah diakui kepemilikannya.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana status tanah yang disengketakan
2.
Teori apa yang digunakan dalam menyelesaikan
sengketa tanah
C.
Tujuan
Penulisan
1.
Untuk mengetahui status dari tanah yang
disengketakan
2.
Untuk mengtahui teori apa yang digunakan dalam
menyelasaikan sengketa tanah
BAB II
LANDASAN TEORI
Dalam makalah
ini akan dibahas pula pisau apa yang digunakan untuk menganalisis dari kasus
yang telah ada. Adapun teori yang digunakan dalam makalah ini bukanlah teori
tentang peralihan tanah, seperti pengangkatan tanah untuk kepentingan umum,
atau peralihan terhadap tanah secara umum yang dapat berupa jual beli, hibbah,
atau wakaf, dll.Namun yang dibahas dalam makalah ini adalah ketidak jelasan
terhadap status tanah.Artinya ada sebidang tanah yang diakui oleh dua kelompok
yang berbeda yang mana keduanya tidak memiliki bukti yang kuat sebagai landasan
kepemilikan tanah.Maka landasan teori yang tepat menurut pemakalah adalah Hak
Milik dan Hak Pakai, apakah dengan kedua teori ini salah satu dari keduanya
dapat dibenarkan atau kedua-duanya dapat dibenarkan tanpa adanya bukti.
1.
Hak Pakai
1.1
Pengertian dan
subyek hukum Hak Pakai
Menurut pasal
41 ayat (1) UUPA yang dimaksud dengan hak pakai adalah hak untuk menggunakan
atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah
hak milik orang lain, yang memberikan wewenang dan kewajiban yang ditentukan
dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau
dengan perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa menyewa
atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan
ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam UUPA. Kata “menggunakan” dalam
hak pakai mempunyai makna hak pakai digunakan untuk kepentingan mendirikan
bangunan, sedangakan arti dari kata “memungut hasil” dalam hak pakai
menunjukkan pada pengertian hak pakai digunakan untuk kepentingan selain
mendirikan bangunan, misalnya yaitu; pertanian, perikanan, peternakan dan
perkebunan.[1]
Adapun mengenai
subjek yang mempunyai hak pakai atas tanah yaitu diatur dalam pasal 39 PP
Nomor-40 tahun 1996 yakni:
a.
Warga Negara Indonesia
b.
Badan hukum yang didirikan menurut hukum
Indonesia dan berkedudukan di Indonesia;
c.
Departemen, lembaga pemerintahan nondepartemen
dan pemerintah daerah;
d.
Badan-badan keagamaan dan sosial
e.
Badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di
Indonesia
f.
Perwakilan Negara asing dan perwakilan badan
internasional.
Sejalan dengan
hal tersebut apabila orang atau badan hukum yang dapat menguasai tanah dalam
hak pakai tidak memenuhi syarat sebagaimana yang diatur dalam pasal 39 ayat (1)
diatas, maka wajib dalam 1 tahun pemegang hak melepaskan atau mengalihkan hak
itu pada pihak yang lain yang memenuhi syarat, jika tidak dilakukan maka hak
tersebut akan terhapus.
Adapun
berkaitan dengan ketentuan yang terdapat dalam pasal 40 diatas dijelaskan bahwa
tanah yang dapat diberikan dengan hak pakai adalah sebagai berikut:
a.
Tanah Negara, yang dilakukan dengan keputusan
mentri atau pejabat yang berwenang,
b.
Tanah hak pengelolaan, dilakukan dengan
keputusan menteri atau pejabat yang ditunjuk berdasarkan usul oleh pemegang
pengeloalaan,
c.
Tanah hak milik seperti dalam pasal 41 ayat(1).
Adapun mengenai
hal pendaftaran hak pakai atas tanah baik pada Negara atau hak pengelolaan
tetap harus didaftarkan di kantor pertanahan dengan buku tanah sebagai alat
bukti hak kepada pemegang hak pakai dan diberikan sertifikat hak atas tanah,
yang hal ini diatur dalam pasal 43 ayat 1,2, dan 3. Sedangakan mengenai
pendafataran hak pakai atas hak milik diatur lebih lanjut dalam keputusan
presiden (pasal 43 ayat 1,2, dan 3). [2]
1.2 Cara memperoleh dan
terjadinya Hak Pakai
1.
Hak Pakai atas Tanah Negara
Hak
Pakai atas tanah Negara pemberiannya dilakukan dengan keputusan dari mentri
atau pejabat yang berwenang. Hak Pakai
ini terjadi sejak didaftarkan kepada Kepala Kantor Pertanahan
Kabupaten/Kota setempat untuk dicatat dalam buku tanah dan diterbikan
sertifikat sebagai tanda bukti.
2.
Hak Pakai atas tanah Pengelolaan
Hak
Pakai ini diberikan dengan keputusan pemberian hak oleh Badan Pertanahan
berdasarkan usul pemegang hak pengelolaan.Hak pakai ini terjadi sejak terdaftar
di Kantor Pertanahan dalam buku tanah, sebagai tanda bukti hak kepada pemegang
hak pakai diberikan sertifikat hak atas tanah.
3.
Hak Pakai atas Tanah Hak Milik
Mengenai
tanah hak milik, hak pakai ini terjadi dengan pemberian tanah oleh pemilik
tanah dengan Akta yang dibuat oleh PPAT.Akata PPAT ini wajib didaftarkan kepada
Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat untuk dicatat dalam Buku Tanah.[3]
1.3 Faktor
yang menyebabkan hapusnya hak pakai, yaitu:
1)
Berakirnya
jangka waktu sebagaimana ditetapkan dalam keputusan pemberian atau perpanjangan
atau perpanjangan atau dalam perpanjangan atau dalam perjanjian pemberiannya;
2)
Dibatalkan oleh
penjabat yang berwenang, pemegang hak pengelolah atau pemilik tanah sebelum
jangka waktu berakhir, karena;
a. Tidak dipenuhinya
kewajiban-kewajiban pemegang Hak Pakai atau dilanggarnya ketentuan-ketentuan
dalam Hak Pakai;
b. Tidak dipenuhinya syarat-syarat atau
kewajiban yang tertulang dalam perjanjian pemberian hak pakai antara pemberian
hak pakai dengan pemilik tanah atau perjanjian penggunaan hak pengelolaan;atau
c. Putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap.
3)
Dilepaskan secara sukarelaoleh pemegang haknya sebelum
jangka waktunya berakhir;
4)
Hak Pakainya dicabut;
5)
Diterlantarkan;
6)
Tanahnya musnah;
7)
Pemegang Hak Pakai tidak memenuhi syarat sebagai pemegang
Hak Pakai.[4]
2.
Pengertian Hak Milik
2.1
Hak Milik Atas Tanah
Hak
milik merupakan salah satu hak atas tanah yang termasuk dalam kategori hak-hak
primer atas tanah, sebab hak milik merupakan hak primer yang paling utama
terkuat dan terpenuh, di banding dengan hak-hak primer lainnya.[5]
Menurut
pasal 20 ayat (1) UUPA Hak Milik atau di singkat dengan HM adalah hak turun
temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan
mengingat ketentuan dalam pasal 6.[6]Yang
dimaksud turun temurun disini yakni HM atas tanah dapat berlangsung terus
selama pemiliknya masih hidup dan bila pemiliknya meeninggal dunia, maka Hak
Miliknya dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya sepanjang memenuhi sebagai subjek
Hak Milik. Terkuat artinya Hak Milik atas tanah lebih kuat jika dibandingka
dengan hak atas tanah yang lain. Terpenuh artinya HM atas tanah memberi
wewenang kepada pemiliknya paling luas bila dibandingkan dengan hak atas tanah
yang lain, dapat menjadi induk dari hak atas tanah yang lain, tidak berinduk
pada hak atas tanah yang lain.
Hak
milik atas tanah dapat dipunyai oleh perseorangan warga negara Indonesia dan
badan-badan hukum yang ditunjuk oleh pemerintah.[7]
2.2
Subjek Hak Milik
Yang
dapat mempunyai (Subjek Tanah) tanah Hak Milik menurut UUPA dan peraturan
pelaksanaannya adalah:
1.
Perseorangan
Hanya warga
negara Indonesia yang dapat mempunyai hak milik (pasal 21 ayat (1) UUPA
2.
Badan-badan
Hukum
Pemerintah
menetapkan badan-badan hukum yang dapat mempunyai Hak Milik dan
syarat-syaratnya (Pasal 21 ayat (2) UUPA.Adapun badan-badan hukum yang dapat
mempunyai tanah hak milik menurut pasal 1 peraturan pemerintah No. 38 Tahun
1993 tentang penunjukan Badan-badan hukum yang dapat mempunyai Hak Milik Atas
Tanah yaitu Bank-bank yang didirikan oleh negara (bank negara), koperasi
pertanian, badan keagamaan, dan badan sosial.
Bagi
pemilik tanah yang tidak memenuhi syarat sebagai subjek hukum Hak Milik Atas
Tanah, maka dalam waktu 1 tahun harus melepaskan atau mengalihkan HM atas
tanahnya kepada pihak lain yang memenuhi syarat. Apabila hal ini tidak
dilakukan, makka tanahnya hapus karena hukum dan tanahnyakembali menjadi tanah
yang dikuasai oleh negara (pasal 21 ayat (3) dan ayat (4) UUPA.[8]
Apakah
semua tanah kepunyaan bank yang dirikan oleh pemerintah boleh dihakinya dengan
hak milik?Tidak. Hak milik hanyalah untuk tanah-tanah yang dipergunakan bank
tertentu untuk tempat mendirikan kantor dan perumahan pegawainya. Tanah lainnya
misalnya untuk lapangan bola atau gedung pertemuan hanya boleh dihakinya dengan
Hak Guna Bangunan.[9]
2.3
Cara Memperoleh Hak Milik Atas Tanah
Tanah
sebagai harta yang bernilai ekonomi memiliki karakteristik khusus dalam hal
perolehannya, Dr. Ridwan dalam bukunya yang berjudul Pemilikan Rakyat dan
Negara atas Tanah Menurut Hukum Pertanahan Indonesia dalam Perspekstif Hukum Islam,
menyatakan Hak Milik rakyat atas tanah dapat terjadi melalui tiga cara sebagaimana
yang diatur dalam Pasal 22 UUPA, yaitu :[10]
1.
Terjadinya
Hak Milik menurut hukum adat
Yaitu dengan
jalan pembukaan hutan, misalnya pembukaan lahan hutan sebagai lahan pertanian
atau perkebunan. Selanjutnya ada juga cara memperoleh Hak Milik tanah menurut
hukum adat adalah dengan “aanslibbing”, yaitu pertumbuhan tanah di tepi
sungai, danau, atau laut yang merupakan “lidah tanah”.
Prinsip dasar
terjadinya hak milik atas tanah menurut hukum adat adalah pembukaan tanah.Dan
perolehan hak atas tanah melalui pembukaan tanah ini telah diatur dalam pasal
46 UUPA.
2.
Terjadinya
Hak Milik atas tanah menurut penetapan pemerintah
Hak milik atas
tanah ini terjadi karena pemohonan pemberian Hak Milik atas tanah oleh pemohon
dengan prosedur dan persyaratan yang telah ditentukan oleh Badan Pertanahan
Nasional.Apabila semua persyaratan telah terpenuhi sepenuhnya oleh pemohon,
maka kemudian Badan Pertanahan Nasional menerbitkan Keputusan Pemberian Hak
(SKPH) dan untuk selanjutnya diterbitkan sertifikat Hak Milik.
Prosedur dan
persyaratan terjadinya Hak Milik atas tanah melalui pemberian hak diatur dalam
pasal 8 sampai 16 Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN Nomor 9 tahun 1999
Tentang Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak
Pengelolaan.
3.
Terjadinya
Hak Milik atas tanah karena Ketentuan Undang-undang
Terjadinya Hak
Milik atas tanah ini terjadi karena ada undang-undang yang menciptakan
hak.Sebagaimana diatur dalam Pasal I, Pasal II ayat (2) dan Pasal VII ayat (1)
Ketentuan-ketentuan Konversi UUPA.
Hak
Milik atas tanah juga dapat terjadi melalui 2 cara yaitu :[11]
1.
Secara
Originair
Terjadinya Hak
Milik atas tanah untuk pertama kalinya menurut hukum adat, penetapan
pemerintah, dan undang-undang
2.
Secara
Derivatif
Suatu subjek
hukum memperoleh tanah dari subjek hukum lain yang semula sudah berstatus Hak
Milik. Dengan terjadinya perbuatan hukum tersebut, maka Hak Milik atas tanah
yang sudah ada beralih atau berpindah dari subjek hukum yang satu kepada subjek
hukum yang lain.
2.4
Jangka Waktu Hak Milik Atas Tanah
Sifat
khas dari Hak Milik adalah hak yang turun-temurun terkuat dan terpenuh.Hak yang
tidak mempunyai ciri-ciri tiga itu sekaligus, bukanlah Hak Milik.
Turun-temurun
artinya hak milik tidak hanya berlangsung selama hidupnya orang yang mempunyai,
tetapi dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya apabila pemilknya meninggal
dunia.Jangka waktu Hak Milik tidak terbatas.Jadi berlainan dengan Hak Guna
Usaha atau Hak Guna Bangunan, yang jangka waktunya tertentu.[12]
2.5
Hapusnya Hak Milik Atas Tanah
Hukum
Pertanahan Indonesia, mengatur hapusnya hak milik sebagaimana disebutkan dalam
UUPA Pasal 27 yang menyatakan bahwa hak milik atas tanah akan hapus karena dua
sebab yaitu, pertama, tanahnya jatuh kepada negara dan kedua, tanahnya
musnah. Tanah menjadi milik negara karena pencabutan hak, penyerahan suka rela
oleh pemiliknya, ditelantarkan atau karena ketentuan Pasal 21 ayat 3 dan 26
ayat 2. [13]
Sebab-sebab dari jatuhnya tanah Hak Milik kepada Negara yang
disebutkan dalam pasal 27 itu tidak bersifat limitatif, karena kita mengetahui
bahwa masih ada sebab-sebab lain. Hak Milik juga bisa hapus dan tanah pun
menjadi tanah negara jika pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan peraturan
landerform yang mengenai pembatasan maksimum
serta larangan pemilikan tanah pertanian secara absentee.[14]
2.6
Hapusnya Hak Guna Usaha Atas Tanah
Berdasarkan
Pasal 34 UUPA, Hak Guna Usaha hapus karena:
1.
Jangka
waktunya berakhir;
2.
Dihentikan
sebelum jangka waktunya berakhir karena sesuatu syarat tidah dipenuhi;
3.
Dicabut
untuk kepentingan umum;
4.
Dicabut
untuk kepentingan umum;
5.
Ditelantarkan;
6.
Tanahnya
musnah;
7.
Ketentuan
dalam Pasal 30 ayat(2).
BAB III
DESKRIPSI KASUS
A. Kasus
BERITA -
jawa.infogue.com - KEDIRI, RABU - Ratusan warga Desa Sugihwaras Kecamatan
Ngancar, Kabupaten Kediri, Jawa Timur, Rabu (9/7) mendatangi markas Kepolisian
Wilayah Kediri. Mereka menuntut penyelesaian kasus sengketa tanah warga dengan
Tentara Nasional Indonesia di Desa Sugihwaras yang sudah berlangsung selama
puluhan tahun.
Massa datang
menggunakan truk bak terbuka.Mereka membawa sejumlah poster berisi
tuntutan.Massa sempat berorasi sebentar sebelum akhirnya polisi meminta
perwakilan mereka untuk berdialog.
Perwakilan
warga akhirnya diajak berdiskusi bersama dengan beberapa pihak terkait yang
sengaja dihadirkan, lain Komandan Komando Distrik Militer (Kodim) 0809 Kediri
Letkol (inf) Endy Sirvandi, Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Kediri Putu
Suweken, dan beberapa pegawai dari Kantor Pelayanan Pajak Madya Kediri.
Dialog dipimpin
langsung oleh Wakil Kepala Polwil Kediri AKBP IPG Mahendra Jaya. Kesimpulan
dari pertemuan itu adalah menyelesaikan kasus sengketa tanah ini secara hukum
perdata di pengadilan.
Mahendra
mengatakan, sebelumnya warga telah melaporkan kasus sengketa tanah ini ke
Polwil Kediri.Laporan itu ditindaklanjuti dengan penyidikan.Polisi sudah
memeriksa beberapa saksi dan juga mengumpulkan barang bukti. Akan tetapi karena
kasus sengketa ini lebih mengarah pada perkara perdata, Polwil Kediri tidak
bisa melanjutkan proses hukum.
Penyidik hanya
bisa memediatori pihak-pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan masalahnya
secara kekeluargaan.Apabila hal itu tidak menuai hasil, maka disarankan untuk
menempuh jalur hukum perdata.
Sebab, menurut
Putu Suweken, tanah yang disengketakan yakni seluas 76 hektar berupa tanah
perkebunan di Desa Sugihwaras, masih berstatus tanah negara.Menurut
silsilahnya, tanah tersebut merupakan tanah perkebunan yang dikelola oleh
Belanda pada masa penjajahan.
Hingga saat ini
belum ada pihak-pihak yang mengurus sertifikasi atau kepemilikan dari tanah
tersebut, baik warga maupun TNI dalam hal ini Kodim 0809 Kediri, ujarnya.
Komandan Kodim
0809 Kediri Letkol Endy mengatakan satu-satunya jalan yang terbaik untuk
menyelesaikan sengketa ini adalah melalui jalur hukum. Pihaknya sudah
menyiapkan staf khusus yang akan mengurus proses hukum di pengadilan nanti.
Menurut Endy,
tanah seluas 76 hektar itu termasuk dalah satu aset milik TNI yang berada di
bawah pengawasan Rindam V Brawijaya Malang. Adapun pengelolaan perkebunan
ditangani oleh koperasi TNI AD.
Penghasilan
dari pengelolaan tanah ini yang menurut warga mencapai Rp 50 juta per tahun,
digunakan untuk kepentingan pendukung satuan kerja TNI seperti membeli
peralatan militer. Ke depan, tanah ini akan diubah menjadi salah satu zona
latihan tempur TNI AD.
Menurut
keterangan yang dihimpun dari berbagai pihak termasuk dari Kepala Desa
Sugihwaras Bejo Utami, tanah tersebut dulunya memang milik Belanda yang
merupakan hasil rampasan dari tanah rakyat.
Pada saat
Belanda pergi, rakyat berusaha menguasai kembali tanah perkebunan.Akan tetapi
pada saat terjadi peristiwa G 30 S PKI tahun 1965, TNI mengambil alih
pengelolaan hingga sekarang.
PEMBAHASAN DAN ANALISIS
Pada kasus diatas sudah jelas digambarkan bahwa yang
melakukan sengketa tanah adalah warga desa dengan TNI.Serta permasalahan dalam
kasus diatas adalah ketika terjadi sengketa dari kedua belah pihak yang
bersengketa tidak mampu menunjukkan tanda bukti kepemilikan tanah.Maka dari itu
sebelum jauh menganalisis dari kasus diatas pemakalah terlebih dahulu
menjelaskan pisau analisis yang digunakan.
Selanjutnya jika Hak Pakai dikaitkan dengan warga.
Pertanyaan yang pas adalah “Apakah warga bisa dibenarkan atas kepemilikan tanah
yang disengketakan?”.
Melihat dari penjelasan di atas bahwa tanah yang dapat
diberikan dengan jalan hak pakai adalah tanah Negara, tanah hak pengelolaan,
dan tanah Hak Milik.Namun penekanannya dalam kasus ini adalah tanah Negara,
karena dalam kasus tersebut tidak dijelaskan secara eksplisit bahwa tanah
tersebut milik perorangan atau lembaga yang diberikan kepada peorangan, maka
secara langsung tanah tersebut adalah milik Negara.
Warga dapat memperoleh hak pakai atas tanah Negara jika didaftarkan di
kantor pertanahan, dengan buku tanah sebagai alat bukti hak kepada pemegang hak
pakai dan diberikan sertifikat hak atas tanah. Maka ketika warga berkeinginan
memperoleh hak pakai maka harus didaftarkan dahulu untuk memperoleh alat bukti
sebagai pemegang hak pakai.
Sudah jelas dalam kasus ini warga tidak dapat
memberikan alat bukti berupa sertifikat sebagai pemegang hak pakai, maka secara
otomatis warga tidak dapat dibenarkan sebagai pemilik tanah dengan Hak Pakai.Dengan
tidak adanya alat bukti tanah menunjukkan bahwa pengguaan tanah selama itu
merupakan penggunaan tanah secara illegal, karena tanpa sepengetahuan Pemerintah
yang berwenang.
Pembahasan selanjutnya adalah bagaimana jika
hak pakai dikaitkan dengan TNI. Secara definitif, status kepemilikan tanah
tidak dapat dihubungkan dengan TNI, karena hak pakai merupakan hak untuk
menggunakan dan memunggut hasil dari tanah yang dikuasai oleh Negara atau tanah
orang lain yang memberikan wewenang kepada orang lain.
Sedangkan secara prosedurnya pula pihak TNI
tidak dapat dibenarkan karena hak pakai atas Negara dapat diperoleh jika didaftarkan di kantor pertanahan, dengan buku
tanah sebagai alat bukti hak kepada pemegang hak pakai dan diberikan sertifikat
hak atas tanah. Selain itu juga, ketika terjadi sengketa pihak TNI tidak mampu
menunjukan bukti kepemilikan atas tanah berupa sertifikat. Walaupun tanah yang
disengketakanakan akan digunakan untuk kepentingan Negara maka tanah tersebut
tidak dapat dipihakkan kepada TNI, karena tidak ada bukti yang melegalkannya.
Maka dapat ditarik kesimpulan bahwa menurut
kacamata teori Hak Pakai, tanah yang disengketakan oleh warga dengan TNI merupakan
tanah yang statusnya adalah tanah milik Negara, karena dari keduanya tidak
dapat menunjukkan bukti yang jelas atas kepemilikkannya.Maka tanah tersebut dikembaliakan
berdasarkan letak dari tanah tersebut adalah Negara.
Keterangan diatas menjelaskan bahwa warga dan TNI tidak
dapat dikatakan sebagai pemegang dan pemilik tanah yang disengketakan
berdasarkan kaca mata Hak Pakai.
Selanjutnya jika keduanya (warga dan TNI) dihubungkan dengan
teori hak milik apakah keduanya dapat dikatakan sebagai pemeroleh hak milik
atau tidak dapat dikatagorikan sebagai pemeroleh hak milik sama sekali?
Hak Milik dapat terjadi karena adat, penetapan pemerintah, dan
karena ketentuan Undang-Undang.Asal mula dari tanah yang disengketakan adalah
tanah bekas penjajah Belanda yang dirampas oleh rakyat kemudian diambil alih
kembali lagi oleh TNI.
Dilihat dari perolehan tanah secara Hak Milik maka warga
tidak termasuk dalam cara perolehan yang dijelaskan diatas. Secara adat, tanah
tersebut tidak merupakan tanah yang kosong karena tanah tersebut telah diambil
alih oleh TNI walaupun tanpat sertifikat.Jika perolehan atas penetapan
pemerintah, juga tidak termasuk karena tidak ada sertifikatnya.Artinya jika
persyaratan dan ketentuan dari Badan Pertanahan Nasional sudah dipenuhi oleh
warga maka Badan Pertanahan Nasional menerbitkan Surat Keputusan Pemberian Hak
(SKPH), dan selajutnya diterbitkan sertifikat Hak Milik.Namun dalam kasus ini
tidak ada bukti dari warga atas terjadinya Hak Milik atas tanah menurut
penetapan pemerintah.
Sedangkan jika TNI dilihat dengan teori hak milik.Maka jika
ditinjau dari perolehan secara adat maka bisa dibenarkan karena, tanah yang
disengketakan merupakan tanah merupakan tanah berdasarkan rampasan dari Belanda
yang diserahkan kepada TNI. Maka tanah ini merupakan tanah milik TNI, namun
sayangnya dari pihak TNI tidak membuat surat tanda bukti kepemilikan. Sehingga
ketika terjadi sengketa tanah pihak TNI tidak dapat menmbuktikan secara kuat
atas kepemilikannya.
BAB V
PENUTUP
A.
Simpulan
Dari penjelasan
diatas dapat disimpulkan bahwa:
1.
Warga dan TNI tidak memperoleh kewenangan atas
tanah jika dilihat dari kacamata Hak Pakai. karena dalam hal ini tanah yang
disengketakan merupakan tanah Negara, maka pemberian tanah tersebut merupakan
pemberian yang dilakukan atas keputusan mentri yang kemudia didaftarkan dan
diterbitkan sertifikat. Jika tidak ada barang bukuti maka yang bersangkutan
tidak memiliki surat pemberian kewenangan pemerintah dan mentri.
2.
Warga tidak dapat memperoleh kewenangan atas
tanah jika dilihat dari teori Hak Milik. Karena 1). tanah tersebut pada mulanya
diserahkan dan diwenangkan kepada TNI, maka asal pemilik dari tanah tersebut
adalah TNI. 2). Tanah tersebut bukan pula terjadi karena Hak Milik atas Tanah
Negara, karena warga tidak dapat menunjukkan sertfikat sebagai tanda bukti
bahwa warga memohon kepada Badan Pertanahan Nasional untuk memberikan Hak
Milik.
3.
TNI dapat dibenarkan jika dilihat dari
terjadinya hak milik menurut hukum adat. Karena dilihat dari asal tanah
tersebut merupakan tanah milik pemerintah Belanda yang dirampas oleh rakyat
kemudian diberikan kepada TNI, hanya saja TNI tidak membuat sertifikat tanah.
Daftar Pustaka
Perangin,Effendi.1991.Hukum
Agraria di Indonesia, Suatu Telaah dari Sudut Pandang PraktisiHukum.
Jakarta: CV. Rajawali.
Ridwan.2010. Pemilikan
Rakyat dan Negara atas tanah Menurut Hukum Pertanahan Indonesia Dalam
Perspektif Hukum Islam.Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama
RI.
Santoso, Urip. 2005.
Hukum Agraria dan Hak-Hak Atas Tanah. Jakarta, Kencana Prenada Media
Group.
Santoso, Urip.2012.
Hukum Agraria Kajian Komperhensif. Jakarta: Kencana.
Supriadi.2007. Hukum Agraria. Jakarta:
Sinar Grafika
[1]Urip Santoso, Hukum Agraria dan Hak-Hak Atas Tanah,
(Jakarta:Kencana, 2010) hal 106
[2]Supriadi, Hukum Agraria, (Jakarta:Sinar Grafika, 2008), hal 118-119
[3]Urip Santoso, Hukum Agraria dan Hak-Hak Atas Tanah, (Jakarta:Kencana,
2010) hal 117
[4] Urip Santoso, Hukum
Agraria Kajian Komperhensif, Jakarta, Kencana, 2012, hal 128
[5] Supriadi, Hukum
Agraria, (Jakarta, Sinar Grafika: 2007), hal 64
[6] UUPA, hal, 564
[7] Urip Santoso, Hukum
Agraria, (Jakarta, Kencana prenada media group: 2012), hal 92-93
[8] Dr. Urip
Santoso, Hukum Agraria, (Jakarta, Kencana Prenada Media Group: 2012),
hal 95
[9] Effendi
Perangin, Hukum Agraria di Indonesia, ( Jakarta, Rajawali Pers:1991) hal, 240
[10] Ridwan, Pemilikan
Rakyat dan Negara atas Tanah Menurut Hukum Pertanahan Indonesia dalam
Perspekstif Hukum Islam.(Jakarta : Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2010)
hal.
265
[11] Urip Santoso, Hukum
Agraria dan Hak-Hak Atas Tanah, (Jakarta, Kencana Prenada Media
Group: 2005) hal 96
[12] Effendi
Perangin, Hukum Agraria di Indonesia, Suatu Telaah dari Sudut Pandang
Praktisi
Hukum, (Jakarta: CV. Rajawali, 1991), hal. 236-237
[13] Ridwan, Pemilikan
Rakyat dan Negara atas tanah Menurut Hukum Pertanahan Indonesia \
Dalam Perspektif Hukum
Islam,
(Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama RI, 2010)
hal. 311
[14] Effendi
Perangin, Hukum Agraria di Indonesia, Suatu Telaah dari Sudut Pandang
Praktisi
Hukum, (Jakarta: CV. Rajawali, 1991), hal. 256
Tidak ada komentar:
Posting Komentar